Antara Bid'ah, Wasilah dan Budaya
By | MPI
Asahan 1 week ago in Aqidah, Artikel
Beberapa waktu terakhir, beberapa tradisi dan acara besar Islam dipersoalkan oleh sebagian masyarakat. Tentu saja hal seperti itu menimbulkan masalah baru dan sering pula memunculkan konflik antar kelompok umat Islam. Paling sering tradisi dan acara besar Islam itu dianggap sebagai bid’ah karena dinilai menyelisihi sunnah, dan berbeda dengan pengamalan Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Memang perlu
untuk membandingkan dan memilah antara bid’ah dengan selainnya yang kerap kali
tidak dijelaskan dan tidak dipahami dengan baik agar meminimalisir masalah dan
konflik antar kelompok di tengah umat Islam.
Bid’ah
Bid’ah berasal
dari kata “bada’a” yang merujuk pada arti “penciptaan suatu hal yang baru”.
Kata “bada’a” menjadi akar dari banyak kosa kata lain dalam bahasa Arab.
Seperti “ibdaa’” atau inovasi, kreasi, penemuan, keaslian. Juga menjadi asal
kata dari “badii’” atau indah dan bagus, juga bisa diartikan sebagai melampaui.
Dalam istilah keagamaan, bid’ah diartikan sebagai “penciptaan hal baru dalam
agama”. Baik dalam bidang akidah maupun ibadah.
Kriteria
Beberapa ulama
mengungkapkan beberapa kriteria bid’ah dalam agama, sebanyak enam (6) hal,
Yaitu :
Pertama,
sebab. Alasan, latar belakang, motivasi, dan segala hal yang mendorong
seseorang melakukan ibadah. Walaupun ibadahnya tepat dan benar seperti
melakukan shalat tahajjud. Akan tetapi jika hanya melakukan shalat tahajjud di
malam-malam tertentu saja, dan tidak melakukannya di selain malam-malam
tersebut karena menganggap malam-malam tersebut memiliki fadhilah yang berbeda
atau lebih berdasar keterangan atau dalil yang tidak kuat, maka itu termasuk
sebagai bid’ah.
Tentu saja itu
berbeda dengan seseorang yang shalat tahajjud-nya selang-seling karena
pekerjaannya, atau tidak mampu, atau shalat tahajjud lebih lama dan maksimal di
malam-malam Lailatul Qadar. Malam-malam di bulan Ramadhan dan Lailatul Qadar
memiliki dasar yang menunjukkan pada fadhilah tertentu yang shahih dan jelas.
Kedua, jenis.
Contoh termudah untuk menjelaskan terkait jenis yang menjadikan sesuatu
perbuatan biasa menjadi bid’ah adalah ketika seseorang menyembelih ayam, bebek
dan hewan lain untuk turut melakukan ibadah menyembelih hewaan qurban di hari
raya Idul Adha dan aqiqah. Adapun jika seseorang menyembelih ayam, misalnya
bertepatan dengan hari raya Idul Adha tetapi dengan niat untuk lauk makanannya
pada hari itu, maka tidak termasuk sebagai bid’ah.
Ketiga,
jumlah. Dalam hal ini jumlah sesuatu pada sebuah ibadah yang telah ditentukan
dengan dalil yang jelas dan tepat. Karena sebagian ibadah jumlahnya memang
tidak ditentukan jelas, tetapi dianjurkan untuk memperbanyak mengamalkannya,
seperti dzikir dan do’a. Sedangkan ibadah yang sudah ditentukan jumlahnya
dengan jelas, akan tetapi ditambah atau dikurangi dengan inisiatif sendiri
termasuk bid’ah. Seperti shalat Subuh lima roka’at, shalat Isya’ satu roka’at.
Tentu berbeda ketika seseorang lupa dengan raka’atnya karena lupa dan
semisalnya, itu termasuk kelalaian dan bukan bid’ah.
Keempat, tata
cara. Ini terjadi pada ibadah yang telah ditentukan tata cara urutannya dari
awal sampai akhir. Maka melakukan ibadah dengan urutan dibalik atau dirubah
termasuk bid’ah. Seperti tata cara shalat yang dimulai dari takbiratul ihram
sebagai awal dan salam sebagai akhir. Maka ketika shalat dimulai dengan salam
dan berakhir takbiratul ihram adalah keliru dan bid’ah.
Kelima,
tempat. Jika thawaf atau berjalan mengelilingi Ka’bah dilakukan di Masjidil
Haram, Mekkah. Maka thawaf bisa menjadi bid’ah ketika dilakukan di tempat
selain Ka’bah, dengan tujuan untuk ibadah. Berbeda kasusnya jika seseorang
sengaja mengelilingi gedung atau tempat apapun untuk menjalankan tugasnya,
seperti polisi atau satpam dalam tugas pengamanan sebuah lokasi tertentu.
Keenam, waktu.
Waktu pelaksanaan sebuah ibadah yang telah ditetapkan dan terikat tidak boleh
dipindahkan di waktu yang lain. Seperti Shalat Dhuha yang boleh dilakukan sejak
15 menit sesudah terbit matahari hingga 15 menit sebelum shalat dhuhur. Jika
Shalat Dhuha dilakukan di waktu setelah Ashar maka termasuk bid’ah.
Wasilah
Wasilah adalah
penengah, perantara atau alat untuk mencapai sesuatu dengan lebih mudah,
efektif, dan efisien. Istilah “wasilah” juga sering digunakan untuk menyebutkan
metode, teknik, dan strategi. Sehingga lazim ketika metode atau teknik dakwah
juga disebut dalam bahasa Arab sebagai “Wasilatud Da’wah” begitu juga metode
mengajar, menjadi “Wasilatut Ta’lim”. Penggunaan wasilah sering disalah artikan
sebagai bid’ah. Dengan alasan bahwa wasilah-wasilah itu belum ada di masa
salaf.
Wasilah dalam
dakwah bentuknya beragam, seperti organisasi, manajemen program, acara yang
menarik, memanfaatkan teknologi informasi, media sosial, termasuk mikrofon
untuk ceramah dan mengumandangkan adzan. Itu semua adalah wasilah dakwah yang
sering disalahpahami sebagai bid’ah. Tanpa mengesampingkan bahwa itu semua
memang “bid’ah” dalam arti inovasi dan perkembangan.
Wasilah dalam
taklim, atau metode mengajar memang serupa dengan wasilah dalam dakwah,
walaupun kegiatan taklim lebih sering digunakan untuk menyebut kegiatan formal.
Wasilah dalam taklim atau mengajar adalah sekolah, papan tulis, laptop, dan
semisalnya. Dalam sejarah, KH Ahmad Dahlan dahulu pernah disebut “kyai kafir”
karena menggunakan papan tulis dan meja dalam sekolahnya, sebuah hal yang
kurang lazim masa itu, dan terbatas penggunaannya bagi sekolah-sekolah Belanda.
Penggunaan
wasilah hukumnya mubah, karena tidak termasuk ibadah, termasuk perkembangan dan
inovasi terkait wasilah-wasilah itu. Tentu selama tidak mengaburkan inti makna
dari dakwah dan taklim tersebut, dan sebagai upaya untuk meningkatkan
efektifitas dari dakwah dan taklim tersebut.
Budaya
Indonesia
memang kaya dengan berbagai acara-acara budaya yang unik oleh setiap suku yang
ada di dalamnya. Sejarah dakwah Islam di Indonesia juga menyajikan fakta bahwa
budaya setempat menjadi wasilah dakwah yang efektif dalam mendekatkan ajaran
Islam bagi penduduk.
Muhammadiyah sendiri juga
menjadikan budaya sebagai wasilah untuk dakwah, sebagian muballigh dan tokoh
persyarikatan sendiri juga kerap menyampaikan bahwa dalam khazanah budaya
nusantara menyimpan ajaran-ajaran moral yang tidak bertentangan dengan Islam.
Budaya, selama tidak bertentangan dengan nilai dan ajaran Islam hukumnya mubah,
bahkan sebagian agenda budaya tertentu menjadi metode dakwah dengan pendekatan
yang lebih efektif.
Editor | (Muhammad Utama Al Faruqi)